TAFSIR BI
AL MA’TSUR
Makalah
ini Diajukan Untuk Memenuhi
Salah
Satu Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah
“ULUMU AL QUR’AN”
Dosen Pengampu
Disusun Oleh :
Miftahur Rohmat
Mishbahus sururi
Mudrikah
FAKULTAS
TARBIYAH
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM HASANUDDIN
(STAIH)
KEDIRI
2012
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah mengutamakan hambanya
dengan membekali ilmu [ pengetahuan ], dan kekuatan beramal sesuai dengan apa
yang sudah disampaikan atau diajarkan dan dicontohkan oleh beliau utusan Allah
yaitu Nabi Muhammad SAW. Sebagai pemimpin ummat. Shalawat dan salam semoga
selalu dilimpahkan keharibaan beliau baginda Nabi Muhammad SAW. Serta para
Shahabat amirul mu’minin [ pemimpin orang-orang mu’min ].
Alhamdulillah, penyusunan makalah yang berjudul ” TAFSIR BI
AL MA’TSUR ” ini dapat kami selesaikan dengan tujuan untuk memenuhi tugas
kelompok pada mata kuliyah ” ULUM AL QUR’AN ” oleh dosen pengampu Drs.
Alkusyairi. M. Pd.I. untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih
banyak sekali kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan
adanya masukan, baik saran maupun kritik membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini nantinya dapat
bermanfaat untuk kita semua umumnya dan bagi si pembaca khususnya, Aamiin.
Kediri,
1 September 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.......................................................................... ..4
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………....4
1.3. Tujuan ……….………………………………………..……4
BAB II : PEMBAHASAN
2.1.
Definisi Tafsir……………………..………………………..…5
2.2.Klasifikasi Tafsir
Al quran.........................................................5
2.3.Kelemahan dan kelebihan tafsir al
ma’tsur……………………8
BAB III : PENUTUP
3.1. Kesimpulan.....................................................................10
3.2. Saran..............................................................................10
DAFTAR
PUSAKA………………………………………………….…. ...….12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada saat al Qur’an diturunkan, posisi Rasulullah SAW adalah
sebagai mubayyin ( penjelas ) kepada para sahabat mengenai kandungan ayat-ayat
al Qur’an. Penjelas ini meliputi maksud ayat-ayat yang tidak bisa difahami oleh
para sahabat atau adanya lafadz yang masih samar dan untuk memperjelasnya
dibutuhkan penjelasan dari Rasulullah SAW. Keadaan semacam ini berlangsung
sampai wafatnya Rasulullah SAW.
Masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW adalah masa dimulainya ijtihad dalam memahami dan
mengkaji al Qur’an dikalangan para sahabat. Hal ini terjadi karena sudah tidak
ada pribadi yang bisa dijadikan rujukan terhadap segala permasalahan yang
menyangkut tentang pemahaman al Qur’an. Maka muncullah tokoh-tokoh dikalangan
para sahabat yang mempunyai kemampuan dalam memahami ( ijtihad ) terhadap
isi-isi al Qur’an, seperti Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas., Ubay bin Ka’ab dan
Ibnu Mas’ud.
Pada
perkembangan selanjutnya, beberapa tokoh sahabat ini juga mempunyai beberapa
murid dikalangan tabi’in yang juga bisa dijadikan sebagai sandaran untuk memberikan
jawaban terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan al Qur’an. Dari tiga
jalur itulah ( Rasulullah SAW-Para sahabat-Para tabi’in ) kemudian muncul
sebuah disiplin ilmu dalam hasanah keilmuan al Quran.
1.2.Rumusan Masalah
Memahami dan menguasai ilmu-ilmu yang behubungan dengan al Qur’an
dan dapat menerapkanya dalam kajian al Qur’an dan mampu mengenal Tentang tafsir
bi al ma’tsur.
1.3.Tujuan
a.
Menjelaskan
pengertian tafsir
b.
Menguraikan
pengertian tafsir al ma’tsur
c.
Mengenali
sisi kelemahan dan kelebihan tafsir al ma’tsur
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Tafsir
Definisi Tafsif
Untuk mengetahui
definisi tafsir, maka akan dipaparka beberapa pendapat ulama’ tentang definisi
tafsir, diantaranya :
a.
Syaikh Muhammad bin Salih : Tafsir adalah
menjelaskan makna-makna al Qur’an.
b.
Menurut Ali Ash
Shobuni dalam At Tibyan, Tafsir adalah ilmu yang dengan ilmu itu dapat memahami
kitab Allah ( al Qur’an ) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan
makna-makna al Qur’an serta menggali hukum didalam al Qur’an.
c.
Menurut Hasbi As
Shiddiqy, tafsir menurut bahasa adalah menerangkan dan menyatakan. Sedang
tafsir menurut istilah adalah :
شرح القرأن وبيان معناه والافصاح بما يقتضيه بنصه أو اشارته أونحوه
Artinya : “Menjelaskan
Al Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan
nash Al Qur’an”. [1]
Para ulama’ dalam menafsirkan Al Qur’an harus
menjaga syarat-syarat sebagai berikut :
a. Mengerti Bahasa Arab baik mufradaatnya, susunannya dan
seterusnya.
b. Mengetahui asbabun nuzul.
c. Menjaga aqidah-aqidah yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i.
d. Menjaga as Sunnah an Nabawiyyah, baik ucapan, perbuatan dan ketetapannya.[2]
2.2. Klasifikasi Tafsir Al qur’an
Secara garis besar bahwa klasifikasi tafsir al Qur’an terdiri dari :
a. Tafsir Bi al Ma’tsur
b. Tafsir Bi al Ra’yi[3]
1)
Tafsir bi al-ma’tsur
Sebagaimana dijelaskan Al Farmawy, tafsir bi al-ma’tsur ( di sebut
pula bi al riwayah dan al naql ) adalah penafsiran al Qur’an
yang mendasarkan pada penjelasan al Qur’an,
Rasul, para Shahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.[4]
Jika memperhatikan definisi diatas maka ada empat hal utama dalam
Tafsir bi al-ma’tsur yaitu :
a) Al Qur’an dipandang sebagai tafsir terbaik terhadap Al Qur’an itu sendiri. Misalnya penafsiran kata “muttaqin” pada ayat 33 surat Ali
Imran, dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan bahwa
yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.
b) Nabi Muhammad SAW yang memang berkedudukan sebagai penjelas Al Quran.
Seperti penafsiran nabi tentang ungkapan “Al Quwwah” dengan “Ar Ramy” ( panah )
pada firman Allah SWT.
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
Artinya : dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.
c) Sahabat, yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui tentang Al Qur’an. Seperti penafsiran Ibnu Abbas terhadap kandungan ayat An Nahr dengan
kedekatan waktu wafatnya nabi.
d) Tabi’in, yang dipandang sebagai orang yang mempunyai kedekatan dengan
sahabat. Seperti penafsiran tabi’in pada surat Ash Shaffat ayat 65 dengan syair
‘Imr al Qays.[5]
Sumber-sumber penafsiran al Quran yang
dilakukan oleh Sahabat dan tabi’in :
1) Perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah SAW
2) Ijtihad
3) Cerita-cerita Israiliyaat, ialah khabar yang berasal dari orang-orang
yahudi dan Nasrani. Kaum muslimin banyak mengambil cerita dari israiliyaat ini,
sebab Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda ; “bila dikisahkan kepadamu
tentang ahli kitab, janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta”.
Maksudnya ialah supaya kaum muslimin menyelidiki lebih dahulu tentang kebenaran
cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli kitab. Setelah nyata kebenarannya
barulah diambil sebagai pedoman.[6]
Akan tetapi, tidak diperoleh alasan yang
memadai tentang penafsiran tabi’in yang dijadikan sebagai salah satu sumber tafsir bi al-ma’tsur. Padahal dalam penafsiran al Qur’an, mereka tidak hanya
mendasarkannya pada riwayat yang diterimanya dari sahabat, tetapi kadang juga
memasukkan ide-ide mereka. dengan kata lain, terkadang mereka pun melakukan
ijtihad dan memberi interpretasinya terhadap al Qur’an. disamping itu, mereka-berbeda
dengan sahabat- tidak mendengar langsung dari nabi dan tidak menyaksikan langsung
situasi dan kondisi ketika al Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu otoritas mereka
sebagai sumber penafsiran al Qur’an bi al ma’tsur masih diperdebatkan para
ulama’. diantara ulama’ yang menolak otoritas mereka adalah Ibnu Syaibah dan
Ibnu Aqli. Abu hanifah pernah berujar, “apa yang datang dari Rasulullah
harus diterima, apa yang datang dari tabi’in ( kita menyikapinya ) mereka
adalah laki-laki dan kamipun laki-laki”. Namu
mayoritas ulama’ seperti ad Dakhan bin al Mujahim ( w. 118/736 ), Abi al Aliyah
ar Rayyah, Hasan Basri ( w. 110/728 ), dan Ikramah menerimah otoritas mereka
karena pada umumnya mereka mendengar langsung dari Sahabat.
Bila
Ibnu Syaibah dan Ibnu Aqli mempersoalkan otoritas nabi dan sahabat, Quraisy
Syihab mencoba lebih dalam lagi mempersoalkan
otoritas nabi dan sahabat. Menurutnya penafsiran nabi dan sahabat dapat
dibagi dalam dua kategori :
a)
la
Majal li al-Aql Fihi ( masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika dan perincian
ibadah.
b)
Fi
majal al-aql ( dalam wilayah nalar ), seperti masalah kemasyarakatan.
Yang
pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, penafsiran itu dapat diterima apa
adanya tanpa ada pengembangan karena sifatnya diluar jangkauan akal. Adapun
yang kedua, walaupun haruslah diakui bahwa penafsiran
nabi pasti benar, penafsiran itu harus didudukkan pada proporsinya yang tepat,
apalagi jika dikaitkan dengan multifungsional nabi. [7]
Dalam pertumbuhannya, tafsir bi al ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu :
a.
Periode 1, yaitu masa nabi, shahabat, dan permulaan masa tabiin ketika tafsir belum
tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan ( musyafahah).
b.
Periode II, bermula dengan pengodifikasian
hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz ( 95-101). Tafsir bi alma’sur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan Hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab Hadits.
2)
Tafsir bi al-Ra’yu
2.3. Kelemahan
dan kelebihan Tafsir Bi al Ma’tsur
Tafsir Bi al Ma’tsur ini mempunyai beberapa kelemahan sebagaimana disampaikan ad
Dahabi, yaitu :
a.
Terjadi
pemalsuan terhadap tafsir
Hal ini terjadi pada
saat kaum muslimin terpecah belah yang menimbulkan munculnya beberapa aliran seperti
: Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Sebab-sebab pemalsuan itu terjadi karena
adanya fanatisme madzhab, politik, serta usaha dari kaum muslimin itu sendiri.
b.
Masuknya
unsur-unsur israiliyyah yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan
nasrani yang masuk dalam tafsir al Qur’an
Persoalan ini
sebenarnya sudah ada sejak zaman nabi masih ada. Namun persoalan ini tidak
berarti apa-apa, karena apa yang terjadi dikalangan para sahabat masih dalam
tahap yang wajar. Persoalan menjadi besar pada masa tabi’in, karena tidak hanya
terjadi campuran antara shahih dan bathil, tapi banyak juga yang merusak akidah
umat. Dalam sejarah tercatat, israiliyat yang semacam itu masih masuk dan
tersebut dalam formulasi tafsir al ma’tsur.
c.
Penghilangan
sanad
Keberadaan sanad yang
menjadi pilar utama dalam keakuratan sebuah riwayat, ternyata pada sebagian
tafsir al ma’tsur sudah tidak ditemukan lagi. Akibatnya, penilaian terhadap
sanad itu sulit dilakukan, sehingga tidak bisa dibedakan mana yang shahih dan
mana yang tidak. Contohnya adalah tafsir muqatil bin sulaiman yang tidak
disertai dengan sanad.
Walaupun
telah dipaparkan sisi kelemahan al ma’tsur, tetap saja ada sisi keistimewaan
pada tafsir al ma’tsur ini, diantaranya :
a.
Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami al Qur’an
b.
Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan ayat-ayatnya
c.
Mengikat
mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya agar tidak
terjerumus dalam subyektifitas yang berlebihan.
Dengan
memperhatikan aspek kelemahan dan keistimewaan
yang dimiliki tafsir bi al Ma’tsur,
dapatlah dikatakan bahwa corak itu dapat dipandang baik daripada tafsir yang
lain, selama kelemahan-kelemahan itu dapat dihindari.[9]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menurut Hasbi As
Shiddiqy, tafsir menurut bahasa adalah menerangkan dan menyatakan. Sedang
tafsir menurut istilah adalah :
شرح القرأن وبيان معناه والافصاح بما يقتضيه بنصه أو اشارته أونحوه
Artinya : “Menjelaskan
Al Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan
nash Al Qur’an”.
Secara garis besar bahwa klasifikasi tafsir
terdiri dari :
a. Tafsir Bi al Ma’tsur
b. Tafsir Bi al Ra’yi
Sebagaimana
dijelaskan Al Farmawy, tafsir bi al-ma’tsur ( di sebut pula bi al riwayah dan al
naql ) adalah penafsiran al Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan al Qur’an,
Rasul, para Shahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.
Tafsir
Bi al Ma’tsur ini mempunyai beberapa kelemahan
sebagaimana disampaikan ad Dahabi, yaitu :
a.
Terjadi
pemalsuan terhadap tafsir
b.
Masuknya
unsur-unsur israiliyyah yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan
nasrani yang masuk dalam tafsir al Qur’an
c.
Penghilangan
sanad
Walaupun
telah dipaparkan sisi kelemahan al ma’tsur, tetap saja ada sisi keistimewaan
pada tafsir al ma’tsur ini, diantaranya :
a.
Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami al Qur’an
b.
Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan ayat-ayatnya
c.
Mengikat
mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya agar tidak
terjerumus dalam subyektifitas yang berlebihan.
3.2. Saran
Dengan membaca makalah ini, pembaca disarankan
agar mampu mengetahui pengertian tafsir bi
al ma’tsur, agar tidak salah dalam memahami isi al Qur’an.
Tentunya makalah ini masih butuh pembenahan dan koreksi, maka
penyusun sangat mengharapkan saran dan masukan dari pembaca untuk perbaikan
makalah ini, Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
AW, Liliek Channah dan Syaiful Hidayat Lc, Ulum
Al Qur’an Dan Pembelajarannya, Surabaya : Kopertais IV Press, 2011.
Anwar, Rosihan, ulumul Qur’an, Bandung:
Pustaka Setia, 2004.
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan terjemahnya, Surabaya.
Alwi, Sayyid bin sayyid Abbas al Maliki, Faidhul
khabir wa khalashah al Taqrir, Surabaya; Al Hidayah, 1960.
[1]
Liliek Channah AW dan Syaiful Hidayat Lc, Ulum Al Qur’an
Dan Pembelajarannya, Surabaya : Kopertais IV Press, 2011, hlm. 362-363
[2] Sayyid Alwi bin sayyid Abbas al Maliki, Faidhul khabir wa
khalashah al Taqrir, Surabaya; Al Hidayah, 1960, hlm. 32-33.
[6] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan terjemahnya, Surabaya, hlm.30-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar